Bertepatan dengan hari ulang tahun Ikatan Dokter Indonesia, masyarakat Indonesia juga memperingati Hari Dokter Nasional pada tanggal 24 Oktober. Peringatan Hari Dokter Nasional dikaitkan dengan kiprah dokter Indonesia sejak masa pergerakan nasional.
Fakta Singkat
Tanggal Penting
- Ulang Tahun IDI: 24 Oktober 1950
- Hari Dokter Nasional: 24 Oktober
- Muktamar IDI Pertama: 22-25 September 1950
Beberapa Tokoh Dokter
- Sutomo
- Wahidin Sudirohusodo
- Cipto Mangunkusumo
- Abdul Rivai
- Radjiman Wedyodiningrat
- Bahder Djohan
Jumlah (Kemenkes, 2019)
- Dokter: 692 orang
- Dokter spesialis: 29.613
- Dokter umum: 51.398
- Dokter gigi: 1.960
- Dokter gigi spesialis: 13.721
Selain Hari Bakti Dokter Indonesia yang dilaksanakan setiap tanggal 20 Mei sejak tahun 2008, beberapa tahun belakangan, masyarakat Indonesia memperingati Hari Dokter Nasional. Peringatan ini bertepatan dengan HUT Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada 24 Oktober.
Salah satu apresiasi masyarakat yang menonjol terhadap Hari Dokter Nasional terekam dalam arsip Kompas pada tahun 2015. Pada Sabtu, 24 Oktober 2015, media sosial Twitter dipenuhi ucapan selamat dengan frasa “Selamat Hari Dokter Nasional” hingga menjadi trending topic (Kompas Web, 24 Oktober 2015).
Sebagai organisasi profesi, sejarah pendirian IDI menunjukkan peran para dokter Indonesia dalam menjawab tantangan zaman sejak masa kebangkitan nasional. Selain itu, pendirian IDI juga menunjukkan kemandirian para dokter Indonesia dalam menjaga profesi dokter sebagai salah satu profesi yang mulia.
Dengan demikian, peringatan Hari Dokter Nasional dapat menjadi pengingat dan penyemangat bagi para dokter untuk menjawab tantangan zaman ini sambil terus berkarya sesuai dengan profesi mereka. Terlebih, pada masa pandemi Covid-19, dokter berperan penting sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat.
Asal-usul peringatan
Awal mula penetapan Hari Dokter Nasional tak dapat ditelusuri dari berbagai sumber di internet. Kebanyakan pemberitaan mengaitkan Hari Dokter Nasional dengan hari kelahiran Ikatan Dokter Indonesia. Sejarah pembentukan IDI sendiri menunjukkan perkembangan kesadaran akan kemandirian para dokter Indonesia dari bayang-bayang Belanda dan Jepang.
Jauh sebelum IDI diresmikan pada tahun 1950, pada tahun 1911 para dokter pribumi membuat perkumpulan khusus dokter di nusantara bernama Vereniging van lndische Artsen atau Asosiasi Dokter Hindia Belanda. Organisasi ini diketuai oleh JA Kayadu.
Lima belas tahun setelahnya, organisasi ini berganti nama menjadi Vereniging van lndonesische Geneeskundige (VIG) atau Asosiasi Dokter Indonesia. Perubahan nama ini mengikuti kesadaran nasionali para dokter pribumi sehingga mengubah kata “indische” menjadi “Indonesische”.
Selama berdirinya, VIG kerap menyuarakan perjuangan untuk mendapat persamaan kedudukan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda. Perjuangan tersebut berhasil meningkatkan gaji para dokter Indonesia dari sebelumnya hanya 50 persen dari gaji dokter Belanda sehingga naik menjadi 70 persen. Tak hanya itu, para dokter Indonesia juga mendapat prioritas pertama untuk dapat diangkat menjadi asisten dokter Belanda.
Pada tahun 1940, VIG mengadakan kongres di Solo. Salah satu hasil kongres, Prof Bahder Djohan ditugaskan untuk membina dan memikirkan berbagai istilah baru yang muncul dalam dunia kedokteran. Tiga tahun berselang, pada masa pendudukan Jepang, VIG dibubarkan dan namanya diganti menjadi Jawa Izi Hooko-Kai.
Pasca-kemerdekaan Indonesia, perjuangan para dokter Indonesia semakin menguat. Dalam sebuah rapat pada 30 Juli 1950 antara Pengurus Besar Persatuan Thabib Indonesia (PB Perthabin) dan Dewan Pimpinan Perkumpulan Dokter Indonesia (DP-PDI), dibentuk panitia penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia (PMDWNI). Panitia yang diketuai Bahder Djohan ini bertugas menyelenggarakan Muktamar Dokter WNI untuk mendirikan perkumpulan dokter WNI yang baru.
Muktamar tersebut kemudian terlaksana di Deca Park (sebelah utara kawasan Monas sekarang), pada tanggal 22-25 September 1950. Acara tersebut dihadiri 181 dokter WNI, sejumlah 62 orang di antaranya datang dari luar Jakarta.
Tujuan dari muktamar tersebut adalah mendirikan suatu perkumpulan dokter Indonesia yang baru yang menjadi wadah representasi dunia dokter Indonesia, baik dalam maupun luar negeri. Dalam muktamar tersebut, Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi ketua umum IDI pertama.
Untuk melengkapi dasar hukum IDI, pada tanggal 24 Oktober 1950, Panitia Dewan Pusat IDI pada waktu itu, R Soeharto, atas nama sendiri dan pengurus lain, menghadap notaris R Kadiman. untuk memperoleh dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dengan demikian, pendirian perkumpulan dokter dengan nama Ikatan Dokter Indonesia kemudian memiliki legalitas yang sah. Di kemudian hari, tanggal penetapan legalitas IDI tersebut juga diperingati oleh masyarakat sebagai Hari Dokter Nasional.
Berbeda dengan penetapan Hari Bakti Dokter Indonesia, awal mula penetapan Hari Dokter Nasional tak dapat ditelusuri sumbernya. Hari Bakti Dokter Nasional sendiri secara resmi ditetapkan tiap tanggal 20 Mei sejak tahun 2008 oleh Ketua Umum PB IDI pada waktu itu, Fachmi Idris.
Berdasarkan penelusuran arsip Kompas, kemungkinan bagi adanya Hari Dokter mulai disuarakan pada tahun 1994. Harian Kompas, 22 Oktober 1994, menerbitkan tulisan Agus Purwadianto berjudul “Hari Dokter, Mungkinkan?”. Tulisan tersebut diterbitkan menjelang Muktamar IDI ke XXII di Ujungpandang (Makassar), 22-27 Oktober 1994. Dengan tulisan tersebut, Agus mendorong IDI untuk memperjuangkan adanya Hari Dokter Nasional. Menurutnya, Hari Dokter merupakan sarana pengingat kelompok profesi ini untuk meneruskan tradisi mulia profesi dokter sejak masa pergerakan nasional hingga pembangunan. Dengan demikian, peringatan Hari Dokter Nasional dipastikan belum ditetapkan hingga 1994.
Peran dalam pergerakan nasional
Selain menjadi ujung tombak kesehatan masyarakat, sejarah mencatat peran para dokter dalam menjawab tantangan zaman dengan melahirkan kesadaran sosial berbangsa hingga terbentuknya Republik Indonesia.
Seperti ditulis sejarawan Universitas Sydney, Australia, Hans Pols, dalam buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2018), sejak awal para dokter di Indonesia terlibat dalam berbagai asosiasi dan partai politik. Mereka juga menjadi penulis dan aktivis. Beberapa tokoh dokter yang kemudian mewarnai pergerakan nasional, antara lain Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo, Abdul Rivai, Radjiman Wedyodiningrat, hingga Bahder Djohan.
Peran sosial politik para dokter dimulai dengan kelahiran Budi Utomo pada 20 Mei 1908 yang didirikan oleh para pelajar sekolah kedokteran School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia. Tokoh penting di belakang pendirian Budi Utomo adalah dokter Sutomo dengan dukungan dokter senior Wahidin Sudirohusodo.
Seperti disebutkan Ki Hadjar Dewantara dalam buku 20 Mei Pelopor 17 Agustus (1950), Budi Utomo merupakan cikal bakal kelahiran gerakan revolusioner kebangsaan. Tanggal berdirinya pun kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selain itu, Budi Utomo merupakan organisasi pribumi pertama yang didirikan di Hindia Belanda yang menerapkan prinsip organisasi modern, dengan AD/ART yang mengatur kepengurusan, keanggotaan, serta kongres yang terjadwal.
Tujuan organisasi Budi Utomo adalah mencapai kehidupan bangsa yang terhormat. Selain itu, para pendiri Budi Utomo melihat pentingnya pendidikan dan pengajaran sehingga Budi Utomo memiliki misi meningkatkan taraf pendidikan masyarakat dengan memajukan pengajaran dan kebudayaan. Misi tersebut juga mencerminkan arti “budi utomo”, yakni usaha mulia.
Dalam perkembangannya, Budi Utomo bukan hanya menjadi organisasi para dokter. Organisasi ini menjadi milik bersama yang dijalankan, untuk pertama kalinya, juga oleh berbagai profesi lain.
Selain Sutomo, tokoh dokter lain yang terlibat dalam gerakan kebangsaan nasional adalah Cipto Mangunkusumo. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), dokter Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij (IP) pada tahun 1912.
Berbeda dengan Budi Utomo yang terkesan lebih hati-hati, IP lebih bersifat keras dan langsung bergerak dalam bidang politik. Hal ini tecermin dari tujuan organisasi tersebut, yakni membangunkan patriotisme semua “Indiers” terhadap Tanah Air dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Tokoh dokter cum aktivis pergerakan lainnya adalah Abdul Rivai, dokter lulusan Universitas Amsterdam, Belanda yang kemudian aktif sebagai jurnalis. Abdul Rivai dikenal karena tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar, seperti Bendera Wollanda, Pewarta Wollanda, Oost en West, Algemeen Handelsblad, Bintang Hindia, dan Pewarta Deli. Bahkan, ia juga menjadi pendiri surat kabar Pewarta Wollanda dan Bintang Hindia. Abdul Rivai juga merupakan salah satu pendiri Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging), organisasi bentukan para pemuda dan pelajar Hindia Belanda di Belanda pada tahun 1908. Tak hanya itu, ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada 1918-1921 .
Melalui tulisan-tulisannya, Abdul Rivai menyoroti berbagai diskriminasi di Hindia Belanda. Ia juga menjadi salah satu penggerak kesadaran kaum intelektual bumi putra untuk membebaskan diri dari penjajahan kolonial Belanda. Dalam berbagai tulisannya, ia memunculkan beberapa istilah yang kemudian digunakan dalam diskusi kaum pergerakan, antara lain “bangsa hindia”, “kaoem moeda”, serta “perhimpunan kaoem moeda”.
Tokoh dokter lain adalah Radjiman Wedyodiningrat. Sambil bekerja sebagai dokter keraton Surakarta (1906-1934), Radjiman juga menjabat wakil ketua Budi Utomo (1914-1923) dan pernah menjadi anggota Volksraad (1918-1921). Menjelang proklamasi kemerdekaan, Radjiman terpilih memimpin Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah Indonesia Merdeka, Radjiman terus diminta berkarya melalui PPKI, KNIP, DPA, serta DPR.
Selain nama-nama tersebut, terdapat pula dokter dan aktivis yang banyak berperan dalam pembentukan organisasi kedokteran, yakni Bahder Djohan. Sebagai seorang tokoh Jong Sumatranen Bond, Bahder Djohan terlibat dalam Kongres Pemuda 1926. Pada zaman Jepang, ia masuk dalam Panitia Pembinaan Bahasa Kedokteran Indonesia dan berhasil mengumpulkan 3.000 istilah kedokteran dalam bahasa Indonesia. Ia juga terlibat dalam muktamar pembentukan IDI pada tahun 1950 sebagai ketua panitia penyelenggara. Pada tahun 1950-1951, Bahder Djohan ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Beberapa tokoh pergerakan Indonesia juga tercatat pernah mengenyam sekolah kedokteran, antara lain Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pengajaran RI 1945), Tirto Adi Suryo (jurnalis), dan Mohammad Roem (Menteri Luar Negeri RI 1950-1951). Hal tersebut menunjukkan peran para dokter dan lulusan sekolah kedokteran Indonesia dalam menjawab tantangan zaman, yakni menanamkan dan menyebarkan semangat kebangsaan hingga merawat kemerdekaan.
Peran dan tanggung jawab dokter
Tak hanya mengenang peran dokter selama masa pergerakan nasional, sejarah IDI yang dikaitkan dengan peringatan Hari Dokter Nasional juga menegaskan kembali peran dan tanggung jawab profesi dokter di tengah masyarakat.
Profesi dokter merupakan profesi tertua, selain advokat. Profesi dokter juga disebut sebagai sebagai profesi mulia (officium nobile) karena hadirnya profesi dokter bertujuan untuk memberi kesembuhan bagi masyarakat yang sedang sakit dengan penuh hati nurani. Kemajuan profesi dokter, baik dalam pendidikan sampai pada pelayanan medis terbaik dokter terhadap masyarakat (pasien), juga menjadi tolok ukur kemajuan suatu negara.
Sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat, dokter berperan penting dalam kehidupan masyarakat dan negara. Profesi dokter tidak hanya dituntut untuk mengabdikan diri dalam bidang kesehatan semata. Namun, dengan profesi dokter tersebut, mereka juga dituntut agar memiliki etika profesi untuk memberikan pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Untuk mencapai harapan tersebut, dokter Indonesia memiliki Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang telah mengalami penyempurnaan beberapa kali sejak tahun 1969. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (2012), tertulis beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang dokter, baik kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap dirinya sendiri. Kewajiban-kewajiban itu tercantum dalam 21 pasal KODEKI.
Secara umum, dokter mempunyai 13 kewajiban yang harus dipatuhi. Kewajiban tersebut, antara lain menyangkut sumpah dokter, pengambilan keputusan profesional secara independen, pelayanan yang kompeten, menghormati hak-hak pasien, hingga kewajiban memperhatikan keseluruhan aspek pelayan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasien.
Terhadap pasien, dokter memiliki empat kewajiban, mulai dari bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan keilmuan dan keterampilannya untuk kepentingan pasien, memberi kesempatan pasien untuk berinteraksi dengan keluarga, merahasiakan segala sesuatu tentang pasien, hingga pertolongan darurat sebagai wujud tugas peri kemanusiaan.
Kewajiban dokter terhadap teman sejawat terdiri dua hal, yaitu memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin diperlakukan dan setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur etis.
Adapun kewajiban doker terhadap diri sendiri mencakup dua hal, yakni selalu memelihara kesehatannya agar dapat bekerja dengan baik dan senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kesehatan.
Dengan beragam kewajiban tersebut, dokter diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga kesehatan masyarakat.
Di Indonesia, untuk mendukung profesi dokter, pada tahun 2005 dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). KKI merupakan salah satu produk Reformasi Kedokteran yang mulai bergulir sejak 1998 dan direpresentasikan dalam UU Praktek Kedokteran 2004. KKI dilahirkan untuk melindungi masyarakat, membina profesi serta memberikan kepastian hukum pada pengguna dan pemberi jasa praktik kedokteran.
Pada saat pembentukannya, KKI terdiri dari 17 orang yang merupakan utusan dari berbagai asosiasi, lembaga, serta tokoh masyarakat, yakni Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (2 orang), Kolegium Kedokteran Indonesia (1), Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (2), Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi Indonesia (2), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (2), Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia (1), Departemen Kesehatan (2), Departemen Pendidikan Nasional (2), serta tokoh masyarakat (3).
Dokter Indonesia dalam angka
Berdasarkan data Kemenkes 2019, jumlah dokter di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 42.467 dokter dan meningkat menjadi 96.692 dokter dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir. Secara rinci pada 2019, dokter spesialis berjumlah 29.613 orang, dokter umum 51.398 orang, dokter gigi 1.960 orang, dan dokter gigi spesialis 13.721 orang.
Sementara itu, menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah dokter dan dokter gigi yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) per 21 Oktober 2020 sebanyak 208.772 dokter yang terdiri dari 134.119 dokter, 30.591 dokter gigi, 4.197 dokter gigi spesialis, dan 39.865 dokter spesialis.
Persebaran dokter terbanyak masih terpusat di Pulau Jawa, yaitu di DKI Jakarta sebanyak 13.887 orang, Jawa Timur 13.034, Jawa Tengah 11.305 orang, dan Jawa Barat 8.771. Adapun provinsi dengan tenaga medis paling sedikit adalah Papua Barat (342 orang), Maluku Utara (376 orang), dan Kalimantan Utara (400 orang)
Mencermati persebaran dokter tersebut, pemerataan tenaga medis di Indonesia masih tetap menjadi persoalan hingga kini, khususnya untuk wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar. Tak hanya di Nusa Tenggara Timur, Maluku, atau Papua, di pelosok Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat pun rasio dokter dan penduduk masih timpang.
Rasio perbandingan dokter dengan populasi di Indonesia berada di angka 47:100.000. Namun, angka rasio dokter tersebut berbeda antardaerah di Indonesia.
Angka rasio dokter umum di DKI Jakarta 1:65, artinya dalam 100.000 penduduk terdapat 65 dokter umum di DKI Jakarta. Angka rasio dokter spesialis di Jawa Barat 1:7, artinya di Jawa Barat terdapat 7 dokter spesialis yang melayani 100.000 penduduk. Dengan jumlah penduduk yang besar, jumlah dokter spesialis di Jawa Barat paling sedikit dibandingkan provinsi lain.
Sementara berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau WHO tahun 2017, rasio dokter di Indonesia sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduk. Jumlah ini jauh di bawah standar ideal WHO yang mematok rasio 1:500.
Di kawasan Asia Tenggara, jumlah dokter di Indonesia menempati urutan terendah kedua, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduk. Jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 23 dokter per 10.000 penduduknya.
Di luar tantangan dari sisi jumlah yang belum mendekati rasio standar, pada tahun 2020 dokter di Indonesia, dan di seluruh dunia, dihadapkan pada tantangan pandemi Covid-19. Dokter dan para petugas kesehatan menjadi garda terdepan penanganan pasien Covid-19 dengan risiko terjangkit Covid-19. Bahkan, hingga 28 September 2020, sejumlah 123 dokter di Indonesia telah meninggal dalam menjalankan tugasnya menangani Covid-19. (LITBANG KOMPAS)